Rabu, 27 Januari 2021

 

Apa Kata Tentang Jerman

Episode 1

Ditulis oleh Herlina Dwi Kurnia (Guru SMK Negeri 2 Batam)

 

Perbedaan budaya merupakan hal yang lumrah bagi manusia. Untuk skala dalam negeri saja, di Indonesia memiliki lebih kurang 34 Propinsi yang mana masing-masing propinsi memiliki adat dan budaya yang berbeda. Dari 34 Propinsi terdapat beberapa Kota dan Kabupaten yang juga memiliki adat dan budaya yang berbeda pula. Namun kita dapat berbangga dengan Indonesia yang memiliki beraneka ragam adat dan budaya namun tetap berada dalam kesatuan Negara Republik Indonesia. Perbedaan ini adalah salah satu kekayaan yang kita miliki dan perlu kita syukuri.

Begitu mendapat kesempatan untuk belajar ke luar negeri, telah membuka pemikiran penulis untuk mempelajari dan menyaksikan secara langsung hal yang berbeda. Dimana selama ini hanya penulis tonton dan lihat melalui layar televisi dan media internet.

Perbedaan itu indah! Sepertinya ini yang memotivasi penulis untuk berbagi cerita dan pengalaman kepada pembaca.

Dalam episode 1 ini, penulis akan berbagi cerita tentang perkenalan awal di Jerman.

Saat melangkahkan kaki masuk ke daerah Jerman Selatan, tepatnya di Singen, penulis merasakan hal pertama yang berbeda saat berada di Batam, Indonesia. Yaitu udara yang sejuk. Udara disini jauh berbeda dengan di tanah air, saat itu sekitar 13̊ celcius. Menurut Kepala Sekolah Robert Gerwigschule Singen (RGS) Jerman, yang mengantarkan saya menuju ke penginapan, suhu ini normal di Jerman dan apabila memasuki musim dingin maka suhu akan terus menurun sampai minus. Padahal, saya sudah menggunakan pakaian pelapis dalam sebelum menggunakan pakaian luar dan jaket tebal, syal, sarung tangan, kupluk, serta menggunakan sepatu bot untuk menahan udara yang begitu dingin. Jerman merupakan negara yang memiliki 4 (empat) musim. Saat saya datang (akhir bulan September 2013) ternyata sedang musim gugur dan masuk ke musim dingin/salju. Hal yang indah dan menarik saat itu adalah warna daun di pepohonan yang berubah dari hijau menjadi kuning, oren, coklat, bahkan ada yang berubah menjadi merah. Mirip seperti rambut masyarakat di sini, ada yang kuning, oren, coklat, dan merah. Sungguh hal yang luar biasa bagi penulis. Apalagi saat melihat daun-daun yang berguguran dan mengering siap untuk menerima datangnya salju di musim dingin.

Setibanya di penginapan, ternyata penginapan untuk kos-kosan di Jerman ini sangat bagus sekali. Sebuah kamar yang dilengkapi dengan kamar mandi lengkap dengan pemanas air mandi, kursi tamu, televisi, meja kerja, dapur listrik lengkap dengan mesin pencuci piring, serta ruang untuk mencuci dan menjemur pakaian. Setiap rumah di Jerman dilengkapi dengan pemanas ruangan, sehingga dapat membuat kita merasa nyaman dan tidak kedinginan. Canggihnya lagi, tirai jendela terletak di luar jendela dan dapat dibuka tutup secara otomatis dengan memencet tombol buka dan tutup. Jendelanya juga canggih, dapat dibuka menyamping atau dibuka bagian atas saja. Memang kalau dari segi teknologi Jerman sangat maju.

Untuk sampah, masyarakat di sini sangat tertib dalam mengelompokkan sampah menjadi 3 tong sampah. Tong pertama untuk sampah organik, tong kedua untuk sampah kertas, tong ketiga untuk sampah plastik. Sehingga setiap rumah memiliki 3 tong sampah untuk jenis sampah yang berbeda-beda tersebut.

Khusus pendatang yang ingin tinggal dan bekerja di sini harus mengambil kelas kursus berbahasa Jerman untuk memudahkan adapatasi di lingkungan.

Saat makan siang di Jerman (penulis diberi kesempatan untuk makan siang di kantin sekolah RGS), makanan yang disajikan oleh kantin tentu saja hal yang baru bagi penulis. Sebagai salah satu contoh, memang sebelumnya penulis pernah merasakan spagheti, tapi mungkin kalau spagheti di Indonesia bumbu saosnya sudah disesuaikan dengan selera masyarakat Indonesia yang dominan sangat suka dengan rasa yang pedas. Masyarakat Jerman tidak suka makanan pedas. Jadi hal berikutnya yang perlu penyesuaian adalah rasa makanan yang jelas berbeda. Namun ada satu makanan yang menjadi favorit penulis selama berada di Jerman yaitu Pommes alias kentang goreng. Hampir tiap hari di sekolah, penulis makan siang dengan Pommes. Karena selain mudah diterima lidah, rasanya juga enak dan biasanya penulis tambahkan saos kari, mayonais, dan sedikit taburan merica hitam agar terasa sedikit pedas. Kalau makan nasi di Jerman tidak menggunakan sendok melainkan menggunakan garpu. Sendok digunakan seperti untuk memakan sup.

Para siswa dan guru di sekolah, rata-rata membawa bekal makanan seperti Roti, Yoghurt, Apel, Pisang, Paprika, dan Kek. Saat jam pelajaran di dalam kelas tepatnya di atas meja siswa tertata dengan rapi selain buku pelajaran, juga terdapat sebotol besar air mineral/jus jeruk/jus apel untuk mereka minum saat pelajaran berlangsung. Sepertinya karena cuaca membuat mereka harus mengkonsumsi banyak air minum. Tidak hanya itu, siswa juga boleh memakan bekalnya selama proses belajar di kelas.

Di dalam kelas, rata-rata kelas masih menggunakan papan tulis dan kapur tulis putih/berwarna. Sedangkan untuk menghapus papan tulis mereka menggunakan spong yang dibasahi dengan air.

Buku tulis yang digunakan bukan buku tulis bergaris, tapi buku tulis kotak-kotak seperti pelajaran matematika. Buku tulis kotak-kotak ini berukuran A4 dan sudah dilobangi dibagian kiri sehingga mudah untuk disimpan dalam satu folder pelajaran. Rata-rata siswa menggabungkan bahan semua pelajaran ke dalam satu map folder. Lembaran kertas dari buku tulis kotak-kotak akan digabungkan ke dalam folder yang sama. Warna pulpen yang siswa gunakan juga warna warni, karena di sini lebih efektif dengan memberi tanda untuk kalimat-kalimat penting yang perlu dalam pembelajaran dengan menggunakan warna berbeda untuk kata-kata penting lalu juga menandai kata-kata penting dalam materi menggunakan warna stabilo yang berbeda.

Uniknya lagi, setiap wali kelas di awal tahun pelajaran akan memoto sendiri siswanya satu persatu saat proses belajar berlangsung untuk membuat daftar kelas. Saat akan  difoto, siswa duduk ditempat masing-masing sambil memegang potongan kertas berwarna yang tertulis nama siswa tersebut. Foto-foto tersebut akan diprint ke dalam selembar kertas dan akan dijadikan dokumentasi juga akan diberikan kepada setiap guru yang mengajar di kelas tersebut.

Siswa dan Guru ke sekolah menggunakan pakaian bebas. Siswa juga membawa handphone (Hp) ke sekolah, mungkin karena jarak rumah mereka yang jauh dari sekolah jadi membuat mereka harus membawa handphone (Hp). Tapi dengan catatan, mereka tidak boleh menggunakannya selama jam pelajaran berlangsung. Apabila ketahuan oleh guru saat itu, maka handphone (Hp) akan di sita sampai jam pelajaran terakhir. Setelah jam pelajaran terakhir, siswa dapat mengambil handphone (Hp) nya kembali.

Sekolah di sini tidak mengenal mata pelajaran Agama. Untuk menggantikannya, mata pelajaran yang diadakan di sekolah adalah mata pelajaran “Ethik”. Awalnya ada seorang Guru “Ethik” sangat bersemangat mengajak saya untuk ikut bergabung melihatnya mengajar di kelas “Ethik”. Saya pun menyetujui untuk ikut ke kelasnya. Setiba di kelas, siswa yang mengikuti pelajaran tersebut hanya sekitar 8 orang. Di dalam hati saya bertanya, kemana siswa yang lain. Guru tersebut membahas tentang bagaimana mengahadapi situasi sulit dalam kehidupan. Kelas pun berjalan aktif, hampir seluruh siswa memberi pendapat dan contoh. Kali ini, saya fikir pelajaran ini adalah pelajaran mengenai bagaimana menyikapi permasalahan dalam hidup. Kemudian, beberapa minggu setelah itu. ada seorang Guru lain yang juga mengajar “Ethik” dengan penuh semangat meminta saya untuk juga ikut bergabung melihat pelajaran di kelasnya. Sayapun menyetujuinya untuk ikut masuk di minggu berikutnya, karena jadwal saya di minggu ini sudah tersusun. Minggu berikutnya, setelah makan siang, kelas “Ethik” pun dimulai. Guru tersebut tampak bersemangat sekali mengajak saya untuk ikut ke kelasnya. Setiba di kelas, saya juga bingung. Siswa yang ikut pelajaran juga sedikit sekali, sekitar 11 orang saja. Pelajaran kali ini, sang Guru membagikan artikel filosofi dan membahasnya bersama siswa. Lalu beliau memutarkan kaset yang berisi dialog tentang kehidupan dan mendiskusikannya lagi bersama siswa. Diakhir pelajaran saya bertanya kepada sang Guru, “mengapa pelajaran ini hanya diikuti oleh sedikit siswa, kemana siswa yang lain, apakah ini bukan pelajaran wajib sehingga hanya siswa yang mau saja yang ikut dalam pelajaran ini?”. Sang Gurupun menjawab, “Kelas ini hanya diikuti oleh siswa yang sama seperti Saya yang tidak percaya akan Tuhan.” Wah, saya dapat pelajaran baru lagi. Ternyata, di Jerman selain umat beragama juga ada umat yang tidak percaya dengan Tuhan. Untuk umat beragama biasanya mereka mengambil pelajaran agama di tempat ibadah masing-masing. Khusus untuk yang tidak percaya dengan Tuhan, sekolah memfasilitasi kelas khusus untuk pelajaran ‘Ethik’ atau ‘Etika.’

Setelah itu, sang Guru bertanya kepada saya, “bagaimana pembelajaran di kelas tadi?”. Saya tetap menghargai beliau dan mengatakan, “Anda sangat semangat sekali dalam mengajar dan siswapun sangat antusias mendengar penjelasan Anda.” Sang Guru pun sangat senang.    

WC di Jerman hanya dilengkapi dengan tisu. Jadi saya memutuskan untuk selalu membawa tisu basah setiap kali akan menggunakan WC di sini. Untuk mencari toilet di Jerman cukup mudah karena di sini menggunakan kata WC untuk toilet. Tapi kalau kita ingin menggunakan toilet umum di sini tidak disediakan kotak WC atau penjaga toilet, kita cukup siapkan koin 50 cent Euro sampai 1 Euro untuk menggunakan WC dengan memasukkan ke dalam lubang koin di gagang pintu WC.

Orang Jerman sangat mengutamakan berjalan kaki menuju ke suatu tempat. Lebih banyak yang berjalan kaki dibandingkan dengan yang mengendarai sepeda, motor atau mobil. Siswa yang bersekolah di RGS tidak hanya berasal dari Singen, mereka juga berasal dari daerah luar Singen (masih di wilayah Jerman Selatan). Jadi mereka rata-rata pergi dan pulang sekolah menggunakan bus kota atau kereta. Bagi yang menggunakan bus kota, dapat menunggu di halte bus dekat dengan sekolah. Namun bagi siswa yang menggunakan kereta, mereka harus berjalan lebih kurang 2 kilometer dari stasiun ke sekolah dan 2 kilometer dari sekolah ke stasiun. Mereka sangat menikmati perjalanan dengan berjalan kaki.

Kendaraan di Jerman berjalan di lajur sebelah kanan dan sangat banyak simpang empat di Jerman. Pengemudi berada di sebelah kiri. Saat pejalan kaki akan menyeberang jalan, biasanya pengemudi mobil akan berhenti secara otomatis memberi kesempatan kepada pejalan kaki untuk menyeberang. Pengemudi mobil sangat menghargai pejalan kaki.

Saat akan masuk atau keluar dari suatu ruangan atau gedung, biasanya para lelaki yang saat itu berpas-pasan akan membantu menahan pintu agar terbuka saat wanita akan masuk atau keluar.

Orang Jerman sangat ramah. Bila berpas-pasan mereka akan mengucapkan ‘Hallo’, bila sudah kenal biasanya mereka akan mengucapkan salam ‘Guten Morgen (selamat pagi)’ ‘Guten Tag (selamat siang)’ ‘Guten Abend (selamat malam)’ lalu mereka biasanya akan menanyakan kabar kita dengan ramah. Saat kita bertanya sesuatu hal kepada mereka, biasanya mereka akan menghentikan sejenak pekerjaan mereka walaupun sedang makan mereka akan hentikan sejenak untuk menjawab pertanyaan kita dengan jelas. Orang Jerman akan berbicara dengan suara yang keras, jadi tidak usah khawatir, mereka bukan sedang marah tapi memang aksen berbahasa mereka begitu. Kata-kata yang dikeluarkan juga sangat jelas penyebutannya.

Tepat janji dan tepat waktu mungkin merupakan moto mereka. Bila berjanji jam 11.00 maka mereka sudah siap 10 menit sebelumnya yaitu jam 10.50.

Bila meminta sesuatu mereka akan lakukan dengan sopan dan mereka selalu berterima kasih.

Saat mendengarkan lawan bicara, mereka akan mendengarkan dengan seksama dan menghargai lawan bicara dengan tidak memotong pembicaraan.

Saat waktunya makan, sudah menjadi kebiasaan di sini untuk mengucapkan ‘Guten Appetit (selamat makan)’.

Saat akan berpisah, juga sudah menjadi kebiasaan di sini untuk saling mengucapkan ‘Auf Wiedesehen (selamat tinggal)’ atau sesama teman saling mengucapkan ‘Tschüss (bye)’.

Selain itu, di Jerman juga ada budaya mengundang makan ke rumah. Sudah menjadi kebiasaan di sini, bila diundang untuk makan, biasanya yang diundang menyiapkan bingkisan untuk yang mengundang. Atas masukan dari Pak Saiful Karim (teman Dosen di VEDC Malang) maka saya sudah menyiapkan beberapa bingkisan dari Indonesia untuk berjaga-jaga kalau diundang makan. Alhamdulillah, saran itu saya lakukan dan sangat bermanfaat setiba di Jerman.

Selain undangan untuk makan, di sini juga ada istilah ‘Undangan Makan Alakadarnya’. Biasanya tamu yang diundang untuk makan berasal dari beberapa negara yang berbeda. Kalau untuk jenis undangan ini, sebaiknya kita juga membawa bekal makanan. Karena tuan rumah akan memasak makanan alakadarnya, jadi kita ikut berperan untuk menambah makanan yang disediakan oleh tuan rumah. Sangat unik dan menarik karena selain makan, kita akan saling bertukar informasi.

Masyarakat di sini sepertinya sangat mencintai binatang peliharaan seperti anjing dan kucing. Biasanya mereka akan berjalan-jalan sambil membawa serta peliharaan mereka.

Menemukan masjid di sini sedikit sulit, karena di sini lebih banyak Gereja hampir di setiap titik. Tapi dengan bantuan pemilik penginapan saya diantar untuk melihat Masjid di sekitar Singen. Kalau ingin menuju ke Masjid Turki di Singen juga dapat menggunakan Bus dari Stasiun Kereta Singen (Hohentwiel).

Ada satu hal yang membuat wajah saya memerah. Tepatnya saat perayaan Hari Raya Idul Adha. Karena biasanya saat Idul Adha di Indonesia saya akan berangkat bersama keluarga menuju Masjid untuk melaksanakan sholat Id berjamaah dan mendengarkan Khotbah. Uniknya, di sini untuk sholat Id di Masjid hanya dihadiri oleh kaum pria saja. Setibanya saya bersama teman-teman yang sama-sama dari Indonesia akan masuk ke area Masjid, saya menanyakan kepada seorang pria yang tampak ramah menyapa. Hal yang saya tanyakan, “apakah benar di Masjid ini akan dilaksanakan sholat Idul Adha?”. Jawabnya. “Iya benar.” Saya dan teman-teman pun merasa lega. Kemudian saya memperhatikan di luar dan di dalam  Masjid, tidak ada seorangpun wanita selain saya di Masjid ini. Ada seorang pria menyapa saya dengan ramah, lalu mengantarkan saya untuk menuju ke dalam Masjid bagian dapur. Saya jadi bingung dan saya tanya “mengapa?”, jawabnya, “Sebaiknya anda di sini saja karena kalau di luar akan banyak lelaki yang akan melihat anda.” Saya pun duduk dan dijamu dengan berbagai macam kue khas Turki serta secangkir teh sambil berharap akan ada wanita yang datang. Sudah sekitar setengah jam saya menunggu, tapi kaum wanita tidak kunjung datang. Akhirnya saya memutuskan untuk menuju ke area Masjid lantai 2 dan mengambil posisi sholat. Awalnya saya sendiri di dalam ruangan itu, sambil berzikir dalam keadaan mata terpejam. Tiba-tiba saya mendengar suara para jamaah pria mulai masuk ke ruangan yang sama. Wah, betapa terkejutnya saya, dengan rasa malu saya hanya menundukkan kepala. Namun ada salah satu jamaah pria mempersilahkan saya dengan sopan  untuk mengambil tempat paling sudut kanan dan beliau membatasi wilayah saya dengan batasan shaf wanita. Alhasil, sholat Id pun dimulai. Sayalah jamaah wanita satu-satunya di Masjid tersebut. Setelah selesai sholat dan khotbah, para jamaah pria turun dan keluar satu per satu. Saya diam saja di tempat menunggu seluruh jamaah pria keluar. Setelah itu saya langsung menuju keluar dengan wajah tersipu malu. Setiba di luar, saya bertemu dengan siswa Turki yang bersekolah di RGS juga melaksanakan sholat di sini. Saya tanyakan kepada dia, “Kenapa tidak ada wanita yang ikut sholat Id di sini?” jawabnya,”memang budaya di sini seperti itu, hanya kaum pria saja yang sholat Id di Masjid sedangkan kaum wanitanya tinggal di rumah.” Saya bilang, “Saya sangat kaget tadi, kenapa saya sendiri jamaah wanita di sini”’ dia juga menjawab,”Kami juga kaget kenapa ada wanita di sini.”

Ya, begitulah, beda tempat beda pula budayanya.

Nah, untuk hari Minggu dan hari Libur Nasional di Jerman, semua toko akan tutup kecuali toko roti dan restauran. Jadi kita tidak dapat berbelanja di Jerman di saat-saat tersebut. Kalau berbelanja di toko, kantong plastik untuk memasukkan barang belanjaan tidak gratis. Kita harus membayar per kantong plastik yang akan kita gunakan sekitar 10 cent Euro. Jadi sebaiknya kalau sudah beli sekali kantong belanjaan jangan dibuang, dapat dibawa lagi saat berbelanja. Rata-rata orang Jerman membawa keranjang belanja sendiri dari rumah mereka. Kemudian, kalau membeli air mineral atau air jus botolan juga jangan dibuang botolnya setelah airnya habis. Perhatikan di botol, jika tertera logo dan tulisan ‘Pfandflasche’ seperti berikut ini:



sumber: https://www.google.com/search?q=Pfandflasche&safe=strict&rlz=1C1CHBF_enID913ID913&sxsrf=ALeKk02_KbvZ9yKr5wdpd9iPCyxGb3czdw:1611798624820&tbm=isch&source=iu&ictx=1&fir=780evhGJChXr7M%252CfnU5QfDw6XRfsM%252C_&vet=1&usg=AI4_-kRlpXb8yRLWPQ4ozcUrAh_bT6IfJA&sa=X&ved=2ahUKEwjM_-zjwb3uAhWY6XMBHSwjCm0Q9QF6BAgKEAE#imgrc=780evhGJChXr7M

berarti ‘botol yang dapat dikembalikan’ maka botol tersebut dapat dikembalikan ke toko dan kemudian kita akan mendapatkan voucher belanja sebesar 25 cent Euro per botol. Dengan catatan voucher hanya berlaku di toko yang sama dimana tempat kita mengembalikan botol-botol tersebut.

Karena Pemerintah di Jerman sangat bekerja keras melengkapi transportasi umum untuk masyarakat Jerman, segala fasilitas di tempat-tempat umum lengkapi dan otomatis. Contohnya seperti sarana mesin untuk membeli tiket kereta secara otomatis. Sebelum menggunakan mesin sebaiknya kita teliti dan baca dulu jadwal keberangkatan kereta. Biasanya jadwal kereta tertera di dinding stasiun. Jadwal kereta juga dapat kita akses di website www.db.de atau www.bahn.com atau http://reiseauskunft.bahn.de  seperti gambar berikut:

   



Ini adalah website Deutsch Bahnhof/ kereta Jerman. Kita dapat mengoperasikan sendiri mesin tiket sesuai tujuan perjalanan, lalu kita dapat langsung membayar di mesin menggunakan uang pas atau bila berlebih maka akan keluar uang kembalian dari mesin. Setelah transaksi pembayaran berhasil maka tiket kita akan keluar dari mesin tiket. Lalu kita langsung menuju ke jalur kereta dan nomor kereta sesuai yang tertera di tiket. Bila kita tertinggal, maka kita boleh ikut kereta berikutnya ke tujuan yang sama tanpa harus ulang membeli tiket (tiket berlaku seharian). Untuk tujuan dengan jarak jauh, biasanya ada pergantian kereta. Kita perlu teliti dan cepat untuk menuju jalur perpindahan kereta dan biasanya dalam waktu yang singkat seperti 5 menit atau 10 menit untuk keberangkatan kereta selanjutnya.  

Untuk siswa, biasanya mereka mempunyai kartu langganan kereta per bulan. Jadi mereka membeli sekali untuk sebulan.

Kalau menggunakan bus kota di sini, kita harus membayar langsung kepada supir saat naik ke dalam bus. Setelah membayar, tiket akan keluar dari mesin tiket. Biasanya masyarakat di sini membeli paket tiket bus bulanan, jadi kalau sudah memiliki paket tiket tersebut, penumpang cukup hanya memperlihatkan paket tiket kepada supir lalu dapat langsung duduk di dalam bus.

Pengemudi bus dan kendaraan besar di sini juga banyak yang wanita. Mungkin karena mandirinya mereka sehingga mereka mampu menyetir kendaraan-kendaraan besar seperti itu.

Untuk masyarakat yang menggunakan kursi roda juga mendapat perhatian khusus dari Pemerintah dengan disediakan fasilitas-fasilitas khusus untuk pengguna kursi roda seperti toilet khusus untuk mereka.

Karena tertibnya masyarakat di sini, tidak diperlukan lagi tukang parkir. Masyarakat yang menggunakan kendaraan seperti mobil dapat memarkirkan mobilnya di tempat khusus parkir mobil lalu menuju ke mesin parkir, membayar parkir lewat mesin dan mengambil tiket parkir tanpa ada yang mengawasi.

Contoh mesin parkir otomatis



http://www.google.com/search?q=mesin+parkir+otomatis&client

 

(bersambung)